🦚

Tentang Angkutan yang Ditinggalkan Kota

Tahun ini, saya akhirnya berkesempatan untuk merantau ke luar kota untuk mencicipi kuliah tatap muka, pertama kali setelah sebelumnya dipaksa berjarak akibat pandemi.

Letak geografis yang berjauhan antara Bandung dan Surabaya membuat saya mewanti-wanti diri sendiri akan perbedaan apa saja di sana nantinya. Setiap orang yang pernah berkunjung ke sana tidak bosan memperingatkan saya akan cuacanya ketika ditanya. Dan, benar saja, siapa lagi yang pertama kali menyambutmu di Kota Pahlawan kalau bukan hawa panasnya.

Selepas meninggalkan stasiun kereta, saya merasa ada sesuatu yang janggal selama menyusuri jalan. Diingat-ingat pun, tidak ada orang yang memberitahu saya soal perbedaan lalu lintas di kota ini dengan di Bandung. Kebingungan saya mencari-cari sesuatu yang hilang itu berhenti setelah sopir Grab yang berkendara dengan saya menyinggungnya, “Di sini, sudah ngga ada angkot, Mas.”

Sebenarnya, angkot tidak benar-benar hilang. Sepanjang tiga bulan pertama saya di sini, sempat saya melihat beberapa, meski hanya hitungan jari. Itu pun dengan keadaan yang sepi penumpang, tak lebih dari lima orang.

Sebagai orang yang sempat bergantung pada angkot ketika di Bandung, pemandangan ini cukup mengherankan. Angkot yang difungsikan sebagai transportasi pengumpan, seharusnya hadir dalam pelayanan transportasi massal lainnya. Kedua jenis moda ini harusnya ikut berdaya dalam sirkulasi masyarakat urban sehari-hari.

Obrolan singkat dengan sopir taksi daring menjawab keheranan saya. Jawabannya tidak mengejutkan — katanya angkot di Surabaya sudah mulai berkurang semenjak adanya layanan ojek online (ojol).

Penetrasi angkutan umum berbasis daring memang terus meningkat semenjak Gojek meluncurkan aplikasinya pertama kali pada 2015. Kompetitor lain pun tak lama hadir memanfaatkan kesempatan, meski hanya beberapa yang masih bertahan. Sampai dengan 2020, Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) melaporkan total ada 4 juta pengemudi ojol di Indonesia. Ini sama sekali bukan angka yang sedikit. Dukungan teknologi yang memihak ojol memang benar-benar memukul pelayanan angkot di berbagai kota.

Karena tidak memiliki jalur khusus (semacam busway untuk moda bus, misalnya), angkot pun memiliki hak jalan yang sama dengan angkutan pribadi. Sehingga, kecepatan layanannya memang bergantung dengan kondisi jalan umum, saat macet maupun tidak. Di sisi lain, ojol, meski menggunakan hak jalan yang sama, mampu melewati celah-celah sempit saat macet sehingga memang lebih unggul dalam hal kecepatan layanan.

Tidak berhenti di situ, selama pandemi, nadir operasional angkot di Surabaya masih harus diuji lagi oleh kehadiran Teman Bus dan Suroboyo Bus. Kedua bus ini memiliki hak jalan yang sama: mereka tidak diberikan jalur khusus yang dipisahkan dari jalan umum. Kelebihannya, kedua armada ini lebih modern dan jauh lebih nyaman dibandingkan angkot.

Jika dengan angkot kita dipaksa berdamai dengan cuaca panas perkotaan, kita justru akan disambut suasana sejuk pendingin ruangan ketika memasuki dua bus ini. Bebas dari berdesak-desakan pun menjadi nilai tambah lainnya yang tidak dimiliki angkot. Dengan kata lain, sama sekali bukan perkara yang sulit bagi masyarakat untuk mempertimbangkan menggunakan moda yang mana untuk bepergian sehari-hari.

Agaknya, inilah yang juga menjadi kekhawatiran pengemudi angkot di Kota Bandung. Seperti yang beredar awal April lalu melalui sebuah cuitan, kemunculan pengemudi angkot yang mencegat operasional bus Trans Metro Pasundan memantik perdebatan lainnya soal angkutan publik.

Beberapa tanggapan menyebut bahwa kemajuan sebuah kota kadang justru dihambat oleh penduduknya sendiri, atau dalam kasus tersebut para pengemudi angkot dianggap menjadi penghambat kemajuan angkutan publik modern perkotaan. Memang mudah rasanya menyudutkan sopir-sopir angkot ini dengan label premanisme yang dilekatkan pada mereka di berbagai media.

Angkutan yang Ketakutan

Ini bukan pertama kalinya sebuah angkutan ketakutan akan ditinggalkan. Nafsu sebuah kota untuk menjadi maju pernah menggerus kelompok pengemudi becak di Jakarta. Becak yang dianggap biang kemacetan dan mengganggu aktivitas publik, coba disingkirkan oleh pemerintah daerah.

Dalam obituarium untuk mengenang pemimpin Serikat Becak Jakarta (SEBAJA), Wardah Hafizh mengingatkan kembali strategi obat nyamuk yang diterapkan pemerintah Jakarta pada tahun 2000-an: menyerang dari lingkaran paling luar menuju lingkaran intinya. Jam 2 pagi, banyak becak di pinggiran kota dirampas dan digembok oleh aparat. Becak yang dulunya diandalkan warga lokal, justru diburu kala itu.

Jejak-jejak pengkhianatan ini sudah terlihat pada tahun 1960-an. Pada salah satu pidatonya, Presiden Soekarno secara terang-terangan menyebut pengayuh becak adalah profesi rendahan. “Jangan menjadi tukang becak, paling tidak menjadi seorang kuli, karena menarik becak adalah pekerjaan tidak bermartabat,” ujar Soekarno. Setelah itulah kebijakan-kebijakan yang mencoba menggerus abang-abang becak ini mulai marak bermunculan.

“Jangan menjadi tukang becak, paling tidak menjadi seorang kuli, karena menarik becak adalah pekerjaan tidak bermartabat,” ujar Soekarno.

Berbeda dengan abang becak yang kala itu harus berdiri langsung melawan aparat, sopir angkot kini hanya bisa berdiri iri melihat angkutannya dianaktirikan. Menarik minat penumpang pun sulit karena hampir tidak ada hal yang bisa diunggulkan ketika mereka dibandingkan dengan angkutan-angkutan terbaru tadi. Lagi pula, siapa mau berdesakan di angkot yang gerah kalau tempat duduk di dalam bus berpendingin ruangan masih kosong?

Tidak jarang, perdebatan eksistensi angkot di masa kini akan mengarah pada sebuah argumen: kalau angkot mau bertahan, mereka harus bisa berinovasi. Masuk akal? Tentu. Namun, untuk memaksa mereka berinovasi sendiri justru kebalikannya: tidak masuk akal.

Kebanyakan dari sopir angkot tidak cukup beruntung untuk bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Ditambah pemasukan yang berkurang, hal ini tentu memaksa banyak dari mereka untuk mencari tambahan dari berbagai hal lain. Kalau sudah begini, siapa punya waktu untuk merumuskan strategi pemasaran yang efektif?

Hidupnya Segan, Mati pun Enggan

Di Jakarta, jaringan angkot diintegrasikan di bawah kebijakan JakLingko dan dinaungi oleh PT. Transportasi Jakarta (TransJakarta). Melalui integrasi ini, sopir angkot tidak perlu lagi bergantung pada jumlah penumpang, sebab adanya gaji dan tunjangan lain yang dibayarkan pemerintah (meski dalam praktik lapangannya ditemukan berbagai masalah, tapi ini adalah pembahasan yang lain).

Dengan lepasnya ketergantungan dengan jumlah penumpang per hari, sopir angkot JakLingko tidak perlu khawatir bersaing dengan angkutan terbaru sekali pun. Penumpang juga ikut mendapatkan keuntungan dari sistem ini. Pelayanan jadi lebih diperhatikan dengan berbagai standar yang diterapkan. Mulai dari pendingin ruangan, sabuk pengaman, sampai palu darurat pemecah kaca disediakan di tiap unit angkot milik JakLingko.

Bagi pengemudinya sendiri, JakLingko sudah menjamin BPJS, gaji bulanan sesuai UMR, THR, dan berbagai fasilitas pendukung layanan lainnya. Angkot yang difungsikan sebagai transportasi pengumpan juga ikut membantu pelayanan transportasi massal lainnya, sehingga keduanya sama-sama ikut berdaya dalam sirkulasi masyarakat urban sehari-hari.

Kita bisa sepakat, bahwa kota yang kita tinggali saat ini memang memaksa kita untuk bergantung pada beragam mesin beroda. Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, tentu memiliki andil yang besar dalam membentuk kehidupan perkotaan yang seperti itu. Mereka bertanggung jawab, dan kini mereka juga perlu bertindak ketika orang di balik mesin beroda tersebut mulai kehilangan pekerjaan.

Tanpa intervensi pemerintah, tidak banyak inovasi atau kegunaan bagi angkot di era ini. Angkot hidup dengan segan, tapi selalu enggan untuk mati: hari demi hari bertahan dari disrupsi teknologi baru dalam bidang transportasi.


Tulisan telah dipublikasi pertama kali di Kolektif Agora.