Berhak atau Tidak
Nafas terakhir George Floyd menjadi nafas yang menghidupkan kembali kekuatan persatuan di Minneapolis, mungkin Amerika, mungkin seluruh dunia. Bukan berarti semangatnya sempat mati, hanya sekedar terabaikan karna masalah lain. Ada yang bilang kasus ini merupakan bukti bertambah parahnya konflik ras di Amerika. Ada yang bilang juga sebenarnya sejak dulu masih sama parahnya, hanya baru-baru ini lebih banyak saja publik yang menyaksikan berkat internet.
Menyuarakan kepentingan toleransi, orang Indonesia juga ga mau kalah bersuara. Kita semua tau Indonesia ngerti banget soal toleransi. Eh?
Seandainya dengan like dan retweet bisa membantu, isu rasisme pasti selesai. Seandainya. Kalau suara saya bisa membantu, tentu dengan mudah saya akan berikan. Tapi apakah saya berhak?
Hidup sebagai mayoritas, baik sebagai Islam di Indonesia atau seorang Sunda di Bandung, memberikan gap yang canggung bagi saya ketika mencoba memahami perasaan minoritas. Akan menjadi omong kosong kalau saya mengaku-ngaku memahami rasanya menjadi minoritas. Tanpa ada empati yang kuat, apa saya berhak ikut membela mereka? Bagaimana kalau karna tidak mengerti, tindakan saya hanya dianggap sebagai ikut-ikutan orang lain saja? Berseru sekarang tapi malah bungkam di kemudian hari saat kasus serupa terjadi?
Kalau soal rasa sakit secara fisik, mungkin mudah bagi saya ikut merasakan. Semua orang pernah kesakitan, itu kenapa kita ikut ngilu saat melihat orang terjatuh, tusuk, tabrak dan sebagainya. Termasuk rasa sesak saat menyaksikan apa yang dialami Floyd. Kalau empati yang saya berikan hanya berdasar pada rasa sakitnya secara fisik, bukan soal dianggap ancaman, dihina, atau direndahkan hanya karna warna kulit, berarti sebenarnya apa yang saya suarakan? Isu rasial atau sekedar marah-marah saja?
Saya senang banyak orang Indonesia yang ikut bersuara akan masalah ini, ikut menagarkan #BlackLivesMatter dan berseru pentingnya kemanusiaan sembari menanggalkan primordialismenya masing-masing. Semoga setelah semua ini bukan cuma warga asing kulit hitam saja yang dibela, karna orang Timur disini juga butuh bantuan.
Ada perasaan yang menyebalkan saat mengetahui ada manusia berbangga nusantara ikut mengutuk isu rasial di Amerika ketika disaat yang sama mereka juga merupakan seorang rasis terhadap penduduk Timur Indonesia. Seakan ada standar ganda yang berlaku tanpa sadar, mereka yang terliput mendapat empati dan yang tidak ya sudah.
Saya mungkin munafik karna mencoba mengingatkan masalah rasial disini padahal saya sendiri pernah tumbuh di lingkungan pergaulan seperti itu. Tulisan ini juga tidak bertindak sebagai penebus kesalahan, sekedar menjadi pengingat dan pijakan kalau-kalau saya lupa posisi saya dimana.
Saya juga bukan orang yang aktif bersuara soal masalah rasial atau lainnya yang menyangkut orang Timur, tidak seperti Mbak Vero. Ada rasa malu ketika saya mencoba membela warga kulit hitam luar disaat warga kulit hitam di tanah sendiri luput dari perhatian saya. Tentu saya tidak bersikap adil dengan membisu soal kedua masalah, tapi sebenarnya saya juga bingung. Masih bertanya apakah saya berhak atau tidak.