🦚

Bandung dan Nyanyian Kota yang Autentik

Matilah engkau mati, semoga engkau lahir berkali-kali;

Kalimat tersebut sebenarnya tidak ada hubungannya dengan apa yang akan ditulis selanjutnya, tapi, ah, rasanya ingin saja saya sematkan di sini, mengingat itulah kutipan yang saya garis bawahi saat Laut Bercerita menemani perjalanan malam hari saya dari Bandung menuju Surabaya pertengahan tahun kemarin. Atau mungkin, karena Bandung pernah dibakar sampai mati, dan diromantisasi berkali-kali semenjak dihidupkan kembali, guratan Sang Penyair untuk Laut tadi sepertinya memang cocok untuk dipaksa mengawali tulisan ini.

Perkenalkan Bandung, sentra kuliner superkreatif di mana untuk pertama kalinya sekelompok manusia–dengan kesadaran penuh–merebus kerupuk mentah dan secara kolektif sepakat meresmikannya menjadi sebuah sajian kuliner yang sah. Kota yang digosipkan penduduknya sendiri tercipta saat Tuhan sedang tersenyum. Kota Kembang yang jadi Kota Kambing kalau kata Doel Sumbang. Dalam rupa apapun ia diceritakan, Bandung–sama seperti kota lainnya–adalah lagu segala genre yang ditulis sendiri oleh tiap orang di dalamnya.

Melihat ekspresi kota melalui bait-bait lirik akan selalu menarik. Memang ditulis secara personal oleh penyairnya, namun tidak jarang kilasan hidup jutaan orang juga ikut termuat hanya dalam beberapa bait tersebut. Seperti hidup yang dipaksa berpacu oleh Jakarta menurut Kunto Aji, atau kenangan Jogja yang menjadikannya tempat sempurna untuk kembali bagi Kla Project, yang diamini pula oleh Adhitia Sofyan sebab rapalan magis yang dimiliki Kota Pelajar itu. Masing-masing menjadi hal yang personal bagi para musisi tadi, tapi, toh, lagu-lagu mereka turut didengarkan jutaan orang yang seakan ikut mengamini.

Kalau diingat-ingat pula, sebelum saya pindah ke kota ini, saya mengenal Bandung pertama kali lewat sebuah lagu. Tepatnya Halo-halo Bandung ketika saya tergabung dalam sebuah regu perkusi saat TK. Namun kini, identitas Bandung dalam lagu tidak lagi sebatas kisah sejarah perlawanan. Ia tidak hentinya diromantisasi hingga mungkin lelah dan diam-diam berharap lebih baik dibakar sajalah lagi sampai mati. Lihat saja bagaimana Pidi Baiq menyudutkan Bandung dalam kacamata kasmarannya anak remaja.

Dan Bandung / Bagiku bukan cuma / Masalah geografis / Lebih jauh dari itu / Melibatkan perasaan / Yang bersamaku / Ketika sunyi –Dan Bandung, The Panasdalam (ft. Danilla)

Perasaan? Sunyi? Ah, kurang romantis apalagi!

Belum tau saja dia, rekan dari musisi lain di sudut Matraman pernah menyia-nyiakan sekuntum mawar karena teruntuk yang dipersembahkannya malah berada di Kota Kembang. Nyatanya urusan geografis memang bukan sembarang!

Tentunya, bicara Bandung belum lengkap memang tanpa menyinggung sejuknya. Beberapa warga Bandung mungkin sedikit menggerutu ketika membaca kalimat tadi. Percayalah, saya juga pernah merasa Bandung itu hareudang (gerah) sebelum akhirnya menghabiskan waktu di Surabaya. Seketika hareudang itu terasa jadi angin sepoi-sepoi yang jauh lebih menyejukkan.

Coba dengarkan Ini Abadi, di mana Maul menyinggung bagaimana Bandung akan selalu memeluk siapa pun yang kembali padanya. Entah disengaja atau tidak, ungkapan Bandung yang selalu memeluk ini sesuai dengan bagaimana Tuhan menata kota ini: tepat di tengah pelukan gunung-gunung di sekitarnya. Maul kemudian mengajak orang-orang untuk melihat bagaimana pelukan yang menyejukkan ini justru menghangatkan orang-orang di dalamnya. Ah, lagi-lagi, betapa romantisnya!

Lihatlah semua sudut itu / Bandung ‘kan selalu memelukmu / Dinginnya hangatkanmu selalu –Ini Abadi, Perunggu

Romantisasi Bandung dalam Ini Abadi bertolak dari apa yang sebenarnya diceritakan: tentang pekerja yang harus pulang-pergi Bandung–Jakarta untuk bekerja. Soal itu tidak ada romantisasi yang ditulis, hanya sesederhana harapan untuk bisa cepat-cepat keluar dari siklus ini dan setidaknya hidup berkecukupan. Ah, Jakarta, bekerja, dan hingar-bingar stasiun. Tipikal kehidupan kota yang sempat membuat musisi lainnya buru-buru tidak sabar ingin menyambut seorang imam di penghujung hari, atau dajjal barangkali.

Kehidupan urban yang diromantisasi memang selalu terdengar hangat. Dengan mengabaikan hiruk-pikuk dan kompleksitas yang dihadapi orang-orang di dalamnya, senandung merdu tentang kota kerap berhasil mengajak pendengarnya untuk berkhayal tentang kehidupan yang sedikit utopis. Entah itu hidup pekerja kantoran yang dianggap bergelimang harta, kasmarannya pasangan yang bergandengan tangan di pusat kota, atau geliat berkeliling ke sana-sini tanpa menghiraukan kemacetan.

Padahal, kota yang kita bangun tidak selalu berwujud utopis, atau bahkan humanis dalam hal itu. Pembangunan yang harusnya menghidupi penduduk, malah terlihat menafkahi benda-benda yang bahkan tidak seharusnya hidup. Gedung makin tinggi dan beranak-pinak, kendaraan kian gencar mengajak orang lupa cara berjalan, atau kedai kopi yang tumbuh lebih subur dari taman kota. Soal ini, Bandung pun sebenarnya telah diramalkan mengalami hal serupa oleh Yanti Bersaudara, melalui tembang Sunda lawas tahun ‘70-an.

Di lingkung gunung (Dikelilingi oleh gunung) / Heurin ku tangtung (Disesaki oleh yang berdiri) –Bandung, Yanti Bersaudara

Heurin ku tangtung menjadi frasa kritis yang terus populer di masyarakat Bandung, utamanya kini pada para orang tua atau mereka yang memang awas terhadap urusan pembangunan kota. “Tangtung” secara harfiah dapat diartikan sebagai berdiri, yang mana menjadikan makna lirik ini pun menjadi wejangan–atau mungkin peringatan–yang semakin menarik. Frasa tersebut terus mengingatkan: bahwa pembangunan di Bandung haruslah dilakukan sebaik-baiknya, kalau tidak ingin Bandung disesaki oleh orang-orang yang berdiri (kepadatan penduduk) atau gedung-gedung yang berdiri (alih fungsi lahan). Tidak heran, beragam keresahan yang bermunculan di perkotaan pun lambat laun akan memantik nyanyian kota yang lebih… autentik.

Untuk itu, mari berkunjung ke Surabaya sejenak bersama Silampukau. Melalui Desa, Kota, dan Kenangan, kita dapat melihat Surabaya melalui kacamata yang gelisah. Bagaimana lahan kosong yang dulu asik dipakai bermain bola kini dikuasai gedung dalam Bola Raya, serapah dan bising jalanan yang rutin menjadi penutup hari dalam Malam Jatuh di Surabaya, atau memoar kenakalan-kenakalan yang terekam dalam Sang Juragan dan Si Pelanggan. Cerita-cerita tersebut terdengar autentik, karena memang muncul dari keresahan yang autentik pula–yang lokal dan disumpahi langsung oleh masyarakatnya.

Tapi kemudian, ini menimbulkan pertanyaan yang menarik: apakah masalah tiap kota benar-benar autentik?

Privatisasi lahan, sesak jalanan, hingga semerbak harum pundi-pundi rupiah di sektor informal yang dinyanyikan Silampukau adalah masalah yang selalu bergandengan dengan wilayah manapun yang menyandang predikat kota, tidak hanya Surabaya saja. Jika merujuk pada Spotify saat tulisan ini dibuat, Silampukau sendiri memiliki basis pendengar terbanyak di Jakarta, baru kemudian disusul oleh Surabaya, Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Kepopuleran Silampukau dengan Desa, Kota, dan Kenangan di berbagai kota besar seakan menjadi anggukan persetujuan dari orang-orang akan permasalahan serupa.

Dalam wawancara bersama Whiteboard Journal, duo tersebut menanggapi keberhasilan album mereka menembus batasan geografis, “barangkali itu berarti bahwa ternyata kebudayaan urban di kota-kota di Indonesia memiliki pola yang identik, menghasilkan kemuakan dan frustasi yang tipikal, membuat usaha-usaha kecil untuk meromantisasikan sisi mekanis dari kehidupan di Surabaya–walaupun masih juga disertai keluhan dan rutukan di sana-sini–masih mungkin untuk bisa diapresiasi oleh orang-orang di kota lain.”

Lantas, apakah karena frustasi yang tipikal di berbagai kota, yang justru membuat masalah-masalah perkotaan di Indonesia tidak “seautentik” itu?

Ah, tidak juga. Tidak perlu repot-repot mengernyitkan alis pada masalah yang para akademisi saja pusing mengurusnya. Dehaman kecil tiap orang saat beraktivitas sehari-hari sudah sah-sah saja untuk dianggap masalah yang autentik di kotanya. Meski memiliki akar masalah yang itu-itu lagi, sumpah serapah warga Bandung ketika menghabiskan hidupnya di depan lampu merah Samsat yang astaga lamanya, tentu tidak sama dengan warga Surabaya yang mungkin menangis karena harus melalui Keputih di jam pulang kerja.

Bagi saya sendiri, Bandung yang “autentik” sesederhana kedai boba yang menjamur di setiap belokannya, gelap malam yang menyadarkan kalau ini masih Bandung dan bukan di antah berantah, atau makian “goblog” bagi pengendara acuh dengan penekanan khusus pada huruf “g” di bagian akhir. Gelisahnya menggenang di rintik hujan yang mengubah Ciwastra menjadi sungai dalam sekejap, serta rasa bersalah karena menyalahi kodrat kerupuk yang seharusnya digoreng. Kelak, cerita-cerita ini tentu akan disyairkan entah oleh siapapun. Tapi sampai itu terjadi, tidak ada salahnya kalau “diromantisasi” menjadi hal autentik bagi Bandung–atau kota lainnya–untuk sementara.


Tulisan ini adalah versi tanpa suntingan dari sebuah kolom di Whiteboard Column